Senin, 17 Maret 2008

Senja di Kaimana

Jadi teringat dua tahun yang lalu, ketika diberikan kesempatan menjelajahi tanah Papua. Ada bebrapa hal yang meanrik sewaktu bepergian ke Kaimana. Kaimana sendiri merupakan kabupaten baru /hasil otonomi daerah yang dahulu bergabung dengan Kabupaten Fak-fak. Berkaitan dengan pemekaran wilayah yang sedang gencar-gencarnya maka Kaimana juga memekarkan diri sebagai Kabupaten baru. Sebenarnya jika ditinjau dari jumlah penduduk akan lebih banyak kapasitas penduduk kabupaten di jawa, namun dari luas wilayahnya sangat besar sekali dan hampir sebagian besar didominasi dengan hutan dan pegunungan.

Perkembangan kaiman sendiri banyak berkutat disektor perikanan laut. Mau cari apa aja yang berkaitan dengan hidangan laut pasti ada, kepiting, kakap, bawal dsb semua ada. Di Kota Kaimana sendiri etnis yang mendiami cukup beragam mulai dari suku jawa, bugis dan penduuk asli. Umumnya jawa dan bugis bergerak dibidang perdaganagn dan warung makan. Masak di sana nemuin pecel lele milik orang jawa timur, warung makan milik orang wonosobo.he.he..

Hal yang menarik berkaitan dengan kegiatan agama islam, di Kaimana hanya terdapat satu pondok yang dikelola oleh Hidayatullah. Memang ormas yang satu ini terkenal semangat dakwahnya yang militan menjangkau daerah-daerah terpencil. Banyak kisah-kisah heroik yang timbul dari perjuangan da’i-da’I Hidayatullah. Kehadiran ponoik pesantren ini mengimbangi sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak gereja/misionaris.

Dalam perjalanan tersebut, kami berkesempatan berkunjung dan survei ke Distrik Teluk Arguni. Ketika sampai di salah satu desa terbayang bahwa ternyata masih ada kondisi rakyat Indonesia seperti ini padahal sudah 60 tahun lebih merdeka tapi ternyata kesenjangan itu jauh sekali.

Letak dari desa tersebut banyak terdapat disekitar perairan teluk dan hanya beberapa saja yang berada di pegunungan. Desa tersebut dibagi menjadi dua macam yaitu desa islam dan kristen/katolik. Setiap menjejakan kaki di suatu desa hampir selalu terdapat sekolah yang dibangun oleh misionaris. Bahkan disalah satu desa ada yang mempunyai bekas landasan pesawat terbang (yang bisa didarati cessna atau twin otter), menarik sekali bagaimana perjuangan misionaris. Mereka sampai mengeluarkan dana yang begitu banyaknya. Sedangkan kita sebagai kaum muslimin belum mempunyai kekuatan seperti itu. Hal ini bisa disebabkan oleh keberadaan sumber dana yang tidak hanya datang dari dalam negeri namun juga dari luar negeri yang membackup kaum misionaris.

Ada kisah yang membuat prihatin, ketika itu kami sedang sholat ashar di sebuah masjid (alhamdulillah sudah permanen). Sehabis sholat saya iseng-iseng lihat-lihat properti kelengkapan masjid. Nah, waktu itu liihat buku risalah khutbah jumat. Yang membuat hati ini miris adalah buku risalah khutbah jumat tersebut diterbitkan pada tahun 1975, padahal saat itu saya berada di tahun 2006. Suatu kesenjangan informasi yang jauh sekali. Dan saya yakin buku itu yang dipergunakan khotib sebagai bahan khutbah jumatnya , karena saya pernah sholat jumat di desa yang lain.

Coba kita bandingkan dengan kondisi di jogja, sangat jauh berbeda namun mengapa kita yang disini masih aras-arasen untuk berbuat kebaikan. Saya kira jika kita dikirim ke salah satu desa diTeluk Arguni Insya Allah bisa menjadi ustad disana. Minimal bisa mengajrkan kebaikan dan meningkatkan keislamana disana. Sangat tidak berimbang sekali, semoga suatu saat kiat berkesempatan menyebarkan islam ditempat yang membutuhkan.

Tidak ada komentar: