Selasa, 01 April 2008

Dakwah kok Freelance ...

ehm…kata-kata tersebut muncul ketika saya berkata bahwa sekarang status saya sebagai freelance. Freelance dakwah…trus ada yang bilang dakwah kok freelance…betul juga… mungkin memang tidak tepat bahwa dakwah dianggap sebagai freelance semata. Terkesan hanya sebagai suatu hal atau kegiatan yang dikerjakan ketika ga ada kerjaan lain.

Tapi bukan maksud saya seperti itu, saya hanya meminjam istilah saja mengingat memang kondisi yang membuat sebutan seperti itu. Dengan status pasca kampus pasti banyak perubahan yang terjadi seperti aktivitas atau amanah yang sudah berubah pula. Idealnya seorang yang lepas (baca:pasca kampus) bisa beralih ke ranah dakwah sya’bi (masyarakat) namun ternyata ada kondisi-kondisi yang belum bisa menuju kesana.

Tidak semua orang dengan mudah melalui tahapan seperti itu, ada penyesuaian dan adaptasi yang diperlukan. Mengingat mad’u yang kita hadapi berbeda, sangat berbeda. Jika dibandingkan dengan kondisi kampus tentu lebih menantang dan heterogen. Mulai dari (maaf) masyarakat berpenghasilan Rp. 200 ribu perbulan sampe jutaan ada di masyarakat dan berpendidikan yang beragam pula.

Terlebih ketika kita hidup dalam masyarakat di desa. Tentu akan berbeda lagi metode dakwah yang akan kita pakai. Namun kondisi-kondisi seperti itu bukan berarti sebagai suatu penghalang atau dijadikan sebagai ketakutan bagi kita yang pengin berkontribusi bagi kemajuan dakwah di masyarakat. Perlu suatu keahlian yang mungkin tidak kita kuasai selama berkecimpung di dalam dakwah kampus, seperti menggunakan bahasa jawa halus (kromo inggil) yang notabene merupakan komunikasi yang biasa di pakai di masyarakat. Mengingat generasi sekarang hanya tahun bahasa jawa ngoko saja, kalau mengenai kromo inggil sedapatnya saja biasanya.

Selain itu dalam masyarakat kita biasanya berafiliasinya pada dua ormas yang sudah terkenal di Indonesia (kalau ga Nu ya Muhammadiyah) sehingga banyak dari kita yang merasa kesusahan untuk berdakwah di msayarakat karena selama ini (dalam dakwah kampus) tidak bergabung dengan salah satu dari kedua ormas tersebut. Memang ini hanya salah satu wasilah dakwah saja, namun persepsi masyarakat yang masih belum sepenuhnya menerima pemahaman lain berkaitan dengan metode atau wasilah dakwah yang dipakai cukup menjadi pertimbangan juga.

Jangan sampai kiita “ngotot” memakai “baju” yang berbeda ketika berdakwah di dalam masyarakat dan memaksakan atas “baju” yang kita pakai pada masyarakat. Karena bisa saja kita malah mendapat penolakan dakwah, dan ujung-ujungnya bisa menimbulkan keretakan ukhuwah dalam masyarakat. Yup kita memang “menjual” ISLAM, bukan wasilah yang kita pakai. Sehingga apapun “baju” yang sebelumnya kita pakai sebisa mungkin kita lepas sementara ketika kita bergaul atau berdakwah di dalam masyarakat.

Nah,berkaitan dengan freelance tadi dengan kondisi yang masih menyesuaikan perpindahan antara kampus dan masyarakat maka sering bantu-bantu dakwah tetapi status (amanah strukturalnya) ga jelas. Di kampung ya bantu-bantu, di kampus ya bantu-bantu..jadi malah ga terlalu focus. Masih butuh belajar untuk bisa lebih baik dan berkontribusi dalam dakwah.